Jumat, 27 Agustus 2021

Alternatif Sumber Pendapatan Daerah melalui Pajak Minuman Beralkohol

Seringkali kita membaca berita begitu banyak korban akibat mengkonsumsi minuman keras (miras) oplosan. Tidak sedikit pemberitaan terkait dengan penggrebekan tempat pembuatan miras oplosan. Bahkan untuk merk merk miras resmi baik lokal ataupun impor seringkali dipalsukan atau diselundupkan dari luar negeri. Dengan semakin maraknya peredaran miras oplosan, penyelundupan bahkan pemalsuan cukai miras menunjukkan bahwa beban pemerintah pemda untuk membendungnya semakin berat dan memakan biaya. Bak buah simalakama, jika tidak dilakukan operasi pemberantasan akan menyebabkan eksternalitas negatif bagi masyarakatnya, namun jika diintensifkan untuk pemberantasannya pastilah membutuhkan dana yang tidak sedikit. 

Guna menutup pembiayaan atas penanggulangan penyalahgunaan miras ini, maka perlu kiranya dipersiapkan dana yang cukup sehingga eksternalitas negatif atas penyalahgunaan miras ini dapat direduksi. Salah satu gagasan yang muncul untuk memecahkan permasalahan ini adalah dengan mengenakan pajak bagi miras atau minuman yang mengandung alkohol. Selain untuk membiayai kegiatan pemberantasan dan penanggulangan peredaran miras illegal dan miras oplosan, juga dapat dikaitkan dengan upayanya untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dari sektor pajak daerah

Bagaimana caranya ?

Yang pastinya pertama harus didasarkan dengan peraturan perundang undangan melalui revisi undang undang yang mengatur tentang pendapatan asli daerah atau pajak daerah dan retribusi daerah

Berikutnya perlu dibuat kajian yang komprehensif terkait potensi calon jenis pajak ini sehingga dapat diketahui apakah cukup efektif atau tidak untuk dipungut

Selanjutnya bagaimana mekanisme pemungutannya

Sebenarnya mekanisme pemungutannya bisa di desain mirip Pajak Rokok, dimana Pajak Rokok yang notabene Pajak Daerah dipungut secara opsen (tumpangan) atas Cukai Rokok. Dipungut melalui pusat dan kemudian didistribusikan ke daerah dengan proporsi yang bisa ditentukan, misalnya jumlah penduduk atau tingkat penjualan per daerah atau faktor-faktor lainnya yang mungkin dinilai proporsional untuk distribusi.
Miras yang notabene barang inelastis seperti halnya rokok, tidak terlalu berpengaruh langsung dengan adanya perubahan harga sehingga cukup potensial untuk dipungut pajak miras atau minuman mengandung alkohol tersebut.

Bagaimana potensinya ???

Jika dilihat dari potensinya, bisa dilihat dari tingkat cukai minuman beralkohol yang diterima pemerintah dari tahun ke tahun naik positif, artinya ini cukup favorable untuk dijadikan objek pajak baru khususnya untuk pajak daerah.

Dengan demikian alternatif usulan pajak minuman yang mengandung alkohol menurut kami bisa dipertimbangkan menjadi salah satu pajak daerah. Selain menambah pendapatan daerah, mengurangi ketergantungan daerah atas dana dari pemerintah pusat juga menjadi upaya untuk meningkatkan pemberantasan atas produksi dan pengedaran miras atau minuman yang mengandung alkohol illegal ataupun oplosan sehingga secara tidak langsung akan mengurangi tingkat kematian akibat miras oplosan, menyelamatkan pendapatan negara dari rongrongan penyelundupan miras atau minuman yang mengandung alkohol illegal serta meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat.

Kamis, 22 Agustus 2019

Optimalisasi Penerimaan Pajak Daerah

Dalam era otonomi daerah sebagaimana kita ketahui bahwa Pemerintah Daerah telah diberikan diskresi untuk dapat memungut Pajak Daerah sebagai bagian dari Penerimaan Daerah. Namun demikian hingga saat ini peranan pajak daerah dalam pos Pendapatan Daerah mayoritas masih belum menggembirakan. Hal ini dikarenakan masih banyaknya daerah yang sangat menggantungkan Pendapatan Daerahnya dari Bantuan Pemerintah Pusat (TKDD) dalam hal ini dialokasikan dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) baik fisik maupun non fisik, Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Desa (DanDes), Dana Insentif Daerah (DID) dan Dana Otonomi Khusus & Keistimewaan (DOKIS). 

Selain itu juga Pemerintah Daerah masih terkesan belum memberikan dukungan effort yang signifikan dalam upayanya mengoptimalkan penerimaan Pajak Daerah. Selain itu masih kuatnya persepsi di sebagian Daerah bahwasanya peningkatan Pajak Daerah akan mengurangi penerimaan Daerah atas Bantuan dari Pemerintah Pusat. Hal ini sebenarnya sudah juga dijelaskan Pemerintah Pusat bahwa tidak ada relevansi signifikan atas persepsi diatas, bahkan dalam beberapa kajian disebutkan bahwa peningkatan PAD sebesar xxx miliar tidak serta merta menurunkan bantuan Pemerintah dalam TKDD sebesar xxx miliar yang sama, bahkan di dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa lebih besar peningkatan PADnya dibandingkan total penurunan atas TKDD yang diterimanya.


Dalam rangka memberikan support kepada Pemerintah Daerah untuk usahanya meningkatkan penerimaan pajak daerah, bersama ini kami sampaikan beberapa hal yang dapat dijadikan referensi meningkatkan penerimaan Pajak Daerah sebagai berikut :

Updating Data Objek dan Wajib Pajak
Melakukan pembaharuan atau updating data baik objek pajak dan wajib pajak seharusnya dilakukan secara terus menerus. Hal ini untuk meminimalisir objek atau wajib pajak yang tidak tertagih. Beberapa cara efektif melakukan updating data adalah dengan memaksimalkan peran keluraha/desa/kecamatan untuk melaporkan dan mendata objek pajak daerah yang telah mengalami perubahan objek atau muncul objek pajak baru. Selain itu bisa juga memberikan ruang apresiasi terhadap masyarakat untuk berlomba-lomba menjadi mitra badan penerimaan daerah dengan cara memberitahukan atau menginformasikan jika ada objek pajak baru/berubah atau ada objek pajak yang selama ini luput dari pemungutan pajak di daerahnya. Guna menjaga semangat masyarakat tersebut dapat diberikan apresiasi berupa insentif ataupun hadiah. 

Modernisasi Administrasi Sistem Perpajakan Daerah
Modernisasi administrasi sistem tidak terlepas dari penggunaan Teknologi Informasi untuk mempermudah Wajib Pajak untuk melakukan pelaporan pajak sekaligus memberikan kemudahan dalam pembayaran pajak. Selain itu juga modernisasi sistem perpajakan ini diharapkan dapat mengelola database perpajakan yang besar serta memberikan kemudahan bagi petugas pajak dalam memonitor kepatuhan wajib pajak. Sistem ini juga dimungkinkan mengurangi biaya pemungutan pajak serta mengurangi potensi fraud karena semakin mengurangi jumlah pertemuan tatap muka antara Wajib Pajak dengan Fiscus (Petugas Pajak)

Modernisasi Organisasi Perpajakan Daerah
Organisasi perpajakan daerah perlu disusun sesuai kaidah perpajakan yang berlaku, misalnya mencontoh struktur organisasi di Direktorat Pajak yang sudah mendasarkan pembagian ruang jabatan berdasarkan fungsi. Sehingga dengan perubahan organisasi menjadi organisasi perpajakan yang modern akan dapat membagi tugas dari hulu ke hilir secara lebih proporsional dan tidak ada lagi tumpang tindih tugas dan fungsi sehingga mengurangi potensi fraud dalam pengelolaan perpajakannya.

Penyusunan SOP Link kerjasama antara Badan Pendapatan dengan Badan Perijinan, Satpol PP dan Dinas terkait lainnya
Perpajakan akan lebih optimal jika didukung oleh stakeholders yang solid dan powerfull. Seperti halnya terkait updating data objek PBB-P2, Badan Penerimaan Pendapatan dapat bersinergi dengan Badan Perijinan yang mengeluarkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Setiap ada pengajuan dan penyerahan data IMB maka akan diinformasikan kepada Badan Pendapatan guna ditindakalanjuti dengan melakukan perubahan Objek Pajak dan mengeluarkan SPOP dan LSPOP baru atas objek pajak dimaksud. Badan Penerimaan Pendapatan juga dimungkinkan untuk bekerjasama dengan Satpol PP khususnya dalam rangka melakukan penertiban dan merazia Objek Pajak yang bandel dan tidak mau membayar pajak atas usahanya.

Penyusunan Tarif Pajak yang variatif
Penyusunan tarif jangan hanya terpatok pada single tarif dan biasanya pengenaannya mengacu pada tarif yang maksimal. Single tarif maksimal ini akan membebani UMKM ataupun Pengusaha yang baru membuka usaha. Sehingga kurang sejalan dengan semangat pemerintah pusat untuk menumbuhkan sektor perekonomian melalui kebijakan Ease of Doing Bussiness. Sebaiknya tarif pajak dibuat berjenjang berdasarkan kondisi Objek Pajak. Selain memberikan insentif pajak kepada UMKM atau pengusaha baru, juga memberikan efek keadilan bagi Wajib Pajak.

Penegakan Hukum yang Tegas terhadap WP yang tidak patuh atau membandel
Pemberian tindakan yang tegas kepada Wajib Pajak yang membandel adalah salah satu upaya shock theraphy bagi wajib pajak yang tidak mematuhi peraturan. Mulai dari pemberian stiker penanda bagi objek pajak yang belum membayar pajak daerah, hingga upaya penyegelan tempat usaha perlu dilakukan. Selain itu pengenaan denda juga bisa menjadi solusi alternatif guna meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar kewajiban Pajaknya.

Pemberian Punishment and Rewarding kepada Fiscus (Petugas Pajak)
Pemberian sanksi kepada Fiscus yang melakukan tindakan fraud, berkolusi dengan wajib pajak atau tidak bekerja secara maksimal adalah salah satu upaya menjaga integritas fiscus pajak. Selain itu, perlu juga diberikan penghargaan (rewarding) kepada Fiscus yang kreatif dan mampu memenuhi target yang dibebankan. Hal ini dirasa perlu guna menumbuhkan semangat serta memberikan perubahan positif bagi unit dalam upayanya meningkatkan penerimaan pajak daerah. Tentu saja pemberian penghargaan juga bisa diberikan kepada Wajib Pajak yang kooperatif dan membayar pajak tepat waktu.

Selasa, 14 Agustus 2018

Mengenal Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Indonesia



Landasan utama pemungutan Pajak : 

  • Undang-Undang Dasar 1945 pasal 23A yang berbunyi "Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang undang"

3 (tiga) Dasar Hukum Utama Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah
  1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
  2. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
  3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Peraturan perundang-undangan yang lain yang berkaitan dengan Pajak Daerah antara lain :
  1. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
  2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
Peraturan turunan dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah
  1. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010  tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2012 Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2016 tentang ketentuan umum dan tata cara pemungutan pajak daerah
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pajak daerah yang boleh dipungut oleh Pemerintah Daerah jumlahnya terbatas dan limitatif sebagaimana telah dituangkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Pajak Provinsi meliputi 
  1. Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)
  2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB)
  3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB)
  4. Pajak Air Permukaan (PAP)
  5. Pajak Rokok
Pajak Kabupaten/Kota meliputi
  1. Pajak Hotel
  2. Pajak Restoran
  3. Pajak Hiburan
  4. Pajak Reklame
  5. Pajak Penerangan Jalan (PPJ)
  6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB)
  7. Pajak Parkir
  8. Pajak Air Tanah (PAT)
  9. Pajak Sarang Burung Walet
  10. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2)
  11. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Retribusi dibagi dalam tiga jenis golongan yaitu
a. Retribusi Jasa Umum
b. Retribusi Jasa Usaha
c. Retribusi Izin Tertentu

Retribusi Jasa Umum terdiri dari 
  1. Retribusi Pelayanan Kesehatan
  2. Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan
  3. Retribusi Penggantian Bea Cetak KTP dan Akta Catatan Sipil
  4. Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat
  5. Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum
  6. Retribusi Pelayanan Pasar
  7. Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor
  8. Retribusi Pelayanan Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran
  9. Retribusi Pelayanan Penggantian Biaya Cetak Peta
  10. Retribusi Pelayanan  Penyediaan dan/atau penyedotan kakus
  11. Retribusi Pengolahan limbah cair
  12. Retribusi Pelayanan Tera/tera ulang
  13. Retribusi Pelayanan Pendidikan;
  14. Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi
  15. Retribusi Pengendalian Lalu Lintas (Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2012 )
Retribusi Jasa Usaha terdiri dari :
  1. Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah
  2. Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah
  3. Retribusi Penyebarangan di air
  4. Retribusi Tempat Rekreasi dan Olah Raga
  5. Retribusi Pelayanan Kepelabuhan
  6. Retribusi Rumah Potong Hewan
  7. Retribusi Tempat Penginapan /Pesanggrahan/Villa
  8. Retribusi Tempat Parkir Khusus
  9. Retribusi Terminal
  10. Retribusi Tempat Pelelangan
  11. Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan
Retribusi Perizinan Tertentu terdiri dari 
  1. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan
  2. Retribusi Izin Gangguan
  3. Retribusi Tempat Penjualan Minuman Beralkohol
  4. Retribusi Izin Trayek
  5. Retribusi Izin Usaha Perikanan
  6. Retribusi Izin Mempekerjakan Tenaga Asing (Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2012 )
Seiring dengan berjalannya waktu terdapat beberapa jenis objek pajak dan beberapa jenis retribusi yang sudah tidak dapat dipungut lagi dikarenakan telah ada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), terbitnya Undang-Undang baru atau telah dicabutnya Peraturan yang menjadi trigger pemungutan. Adapun jenis objek pajak dan jenis retribusi yang sudah tidak dapat dikenakan pajak/retribusi adalah sebagai berikut :
  1. Objek Pajak Golf tidak dapat (lagi) dikenakan Pajak Hiburan, hal ini didasarkan pada keputusan MK
  2. Objek Pajak Kendaraan dan Alat Berat tidak dapat (lagi) dikenakan Pajak Kendaraan Bermotor, hal ini didasarkan pada keputusan MK
  3. Retribusi Penggantian Bea Cetak KTP dan Akta Catatan Sipil tidak dapat (lagi) dikenakan Retribusi, hal ini dikarenakan telah terbit UU Administrasi Kependudukan yang telah menggratiskan pelayanan dimaksud
  4. Retribusi Izin Gangguan, tidak dapat (lagi) dikenakan Retribusi, hal ini dikarenakan telah dicabutnya Permendagri yang mengatur tentang Izin Gangguan